Aktivitas Masyarakat Adat

SERO APUNG DI TELUK DEPAPRE BERKEMBANG PESAT

Teknologi penangkapan ikan laut ‘Sero Apung’ pada nelayan di sini dan Kampung Amai, kian berkembang karena dinilai sebagai alat tangkap ikan yang tepat untuk wilayah perairan laut yang agak dalam seperti di teluk ini.’ Hal itu diungkapkan Bapak Jack Suwai dan Yosef Suwae kepada KdK tatkala berkunjung ke Tablanusu belum lama ini.

Secara administratif pemerintahan, Kampung Tablanusu dan Kampung Amai dan beberapa kampung di sekitarnya merupakan wilayah dari Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kedua kampung di atas, selain hasil tangkapan ikannya yang banyak juga dikenal dengan lokasi wisatanya yang menarik. Seperti pantai Amai, Pantai Harlem, dan beberapa lokasi wisata lainnya.

Beberapa tahun terakhir, Kampung Tablanusu dan Kampung Amai menjadi lokasi favorit bagi banyak warga Kota Jayapura dan Kota Sentani untuk berlibur akhir pekan atau liburan besar bagi anak-anak sekolah. Hal itu dimungkinkan karena sarana dan prasarana jalan ke lokasi tersebut tersedia dan lancar. Di Kampung Tablanusu sendiri sudah ada Hotel yang bisa digunakan bagi pengunjung yang mau nginap dan di Kampung Amai sudah ada Cottage yang juga dapat digunakan. Tentu kalau nginap harus bayar biaya penginapan dan konsumsinya.

Kehadiran Sero Apung di Kampung Tablanusu dimungkinkan karena Yayasan Pengembngana Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD IRJA) menjadikan kampung tersebut sebagai Desa Dampingannya di tahun 1985. Strategi dan Pendekatan yang digunakan YPMD dalam mengimplementasikan programnya adalah Pertama, pendekatan kepada Tiga Tungku yang menjadi pilar kepemimpinan di dalam sebuah komunitas masyarakat yang kita naman kampung. Di dalam setiap kampung, rata-rata ada Tokoh Adat/Ondoafi, Tokoh Agama dan Tokoh Pemerintahan yang sah yang dinamakan Kepala Desa atau Kepala kampung.

Pimpinan YPMD dan Timnya akan mendatangi dan bertemu dengan setiap tokoh tersebut untuk menyampaikan rencana dan program pendampingan yang akan dilakukan oleh YPMD kepada masyarakat desa tersebut secara transparan. Tujuannya agar ke-Tiga Tokoh masyarakat di Kampung tersebut mengetahui maksud dan tujuan kehadiran YPMD di tengah warga masyarakat kampung dan mereka juga diharapkan memberikan dukungan kepada kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh YPMD di desa mereka. Setelah ke-Tiga Tungku Desa tersebut menyatakan wellcome kepada YPMD, barulah YPMD. lanjut dengan langkah berikutnya

Kedua, setelah itu barulah Tim YPMD IRJA Melakukan Survay Social di Desa Tablanusu untuk mengetahui potensi pertaniannya, kenelayanan, kesehatan, air bersih dan lingkungan hidup, kapasitas dan skill warga kampung, proses pengolahan pasca panen dan pemasaran product product petanian warga. Dari hasil survay tersebut barulah YPMD mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh warga desa dan menentukan skala prioritas YPMD kepada masyarakat di Tablanusu.

 

SERO APUNG SALAH SATU PRIORITAS

Tahun 1985, YPMD bersama dengan warga masyarakat membangun sarana air bersih di Tablanusu secara swadaya. Material non lokal disediakan oleh YPMD sedangkan material lokal disediakan oleh warga masyarakat dan tenaga kerja untuk membantu tim air bersih dari YMPD. Sedangkan kaum perempuan juga membantu untuk menyediakan konsumsi bagi suami mereka yang sedang membantu tim YPMD membuat bak reservoir, dan membangun jaringan pipa air bersih mulai dari bak penangkap air hingga air masuk di Kampung Tablanusu.

Pada tahun 1988, barulah YPMD memberikan perhatian serius kepada warga nelayan di Kampung Tablanusu. Untuk meningkatkan income para nelayan, YPMD memperkenalkan teknologi penangkapan ikan semi modern yang dikenal dengan nama sero apung. Sebenarnya teknologi penangkapan ikan jenis ini, sudah diperkenakan oleh sdr. Beni Tappar tahun 1984 di Kampung Wauna. Tetapi belum diperkenalkan ke-pada para nelayan di Tablanusu yang kemudian men-jadi masalah antara kampung Tablanusu dan Kampung Wauna.

Itu sebabnya pada tahun 1988, YPMD mendatangkan seorang ahli Pembuat Sero apung dari Sulawesi tepat-nya Menado untuk mengajarkan para nelayan di Kam-pung Tablanusu cara membuat sero apung. Tete Mananengke, demikian nama panggilan akrab untuk instruktur Sero Apung yang didatangkan secara khusus untuk mengajarkan cara membuat sero apung bagi nelayan di Tablanusu tersebut. Tete, mengajarkan cara membuat sero apung kepada nelayan di Tablanusu dari bahan-bahan lokal hingga menghasilkan tigaa (3) buah sero apung. Lalu dilabuhkan di wilayah per-batasan laut antara Tablanusu dan Tablasupa. Betapa kagetnya nelayan Tablanusu karena ikan-ikan yang terjaring dalam sero apung yang dilabuhkan di wilayah itu rata-rata berukuran besar dari jenis ikan yang bernilai eksport.

 

BERKEMBANG PESAT

Sero apung yang merupakan alat penjebak ikan berukuran sedang dan besar untuk masuk ke dalam jaring yang terletak di bawah sero untuk memakan ikan ikan kecil yang disediakan oleh pemilik jaring, melompat masuk ke dalam jaring melalui celah celah bambu yang adalah lantai dasar sero. Akibatnya ikan-ikan itu terjebak dan tak dapat keluar dari dalam jaring. Sero apung dilabuhkan di laut selama 3 – 5 malam dan sete-lah itu pemiliknya dapat memanen ikan dalam jumlah puluhan kg ikan.

Keberhasilan ini memotivasi nelayan lainnya di Kampung Tablanusu dan Kampung Tablasupa untuk membuat sero apung milik pribadi. Model dan bahan-bahan sero apung pun diambil dari bahan bahan yang tersedia di sekitar mereka.

Menurut sumber informasi penulis, di Kampung Tablanusu, Bapak Jack Suwae dan Bapak Yosef Suwae, sejak diperkenalkan oleh YPMD IRJA tahun 1988 sampai tahun 2023, jumlah sero apung yang dilabuhkan di Teluk Depapre sebanyak 47 unit. Dari jumlah itu, sebanyak 28 unit milik nelayan Kampung Tablanusu dan 19 unit lainnya milik Tablasupa.

Ketika KdK tanyakan kepada Bapak Melkisedek me-ngapa jumlah sero apung yang digunakan nelayan Tablasupa sedikit bila dibandingkan dengan jumlah sero apung milik nelayan di Kampung Tablanusus ? “orang-orang di Kampung Tablasupa ini, lebih banyak bekerja di luar kampung seperti di Distrik Depapre. Sehingga mereka lebih konsentrasi kepada pekerjaanya dan tidak punya waktu untuk menekuni dunia ne-layan.” Jawab Kaweitou singkat.

 

BANYAK JENIS IKAN

Teluk Tanah Merah hingga Teluk Depapre ini tam-paknya menjadi tempat yang nyaman bagi beberapa jenis ikan yang mempunyai nilai jual yang tinggi untuk mencari makan. Ikan-ikan tersebut di antaranya ikan merah (siganus sp); bobara (caranx sp); kombong (transrellinger); kawalina (lates sp); tenggiri (scomberamorus sp); cakalang (euthinus sp); dan gurita (octopus sp).

Selain itu juga terdapat biota-biota laut lainnya serta beberapa jenis ikan karang. Seperti ikan ka-rang, cumi, bia, siput dan lobster serta beberapa je-nis ikan lainnya. Pada Kawasan Pegunungan Deponsero, juga terdapat banyak jenis burung. Diduga terdapat sekitar 273 jenis burung dan 86 jenis mamalia. Bahkan salah satu Jenis burung yang mulai langka di tanah Papua ini, masih terdengar kicauannya di pantai Suiyebo, Tablasupa.

Tetapi tak kalah menariknya kalau kita kembali ke-pada ikan-ikan hasil tangkapan sero apung. Masih menurut sumber informasi penulis di Kampung Tablanusu, Bapak Jack Suwae dan Yosep Suwae, menjelaskan, “penghasilan rata-rata tiap sero apung per bulan sekitar 5 juta sampai 6 juta Rupiah.

Tetapi setiap pemilik sero apung mempunyai sifat social kepada warga kampung lainnya. Ketika ada duka di kampung Tablanusu, mereka secara sukarela menyumbangkan ikan hasil tangkapannya kepada keluarga yang berduka. Juga kalau ada acara kampung, setiap pemilik sero apung menyumbangkan ikan kepada panitia acara kampung. Belum terhitung sumbangan sumbangan kepada tetangga tempat mereka tinggal.”tutur keduanya.

Sikap social pemilik sero apung tersebut, mengundang simpati seluruh warga Kampung Tablanusu. Kalau ada konflik di laut terutama tentang klaim-klaim wilayah tangkapan, maka warga kampung lainnya berusaha untuk mencarikan solusi dan mencarikan jalan pemecahan yang terbaik tanpa merugikan satu sama lain.

 

BANGUN RUMAH TEMBOK

Masih menurut informan penulis di Kampung Tabla-nusu, “ikan-ikan hasil tangkapan nelayan baik yang menggunakan sero apung maupun menggunakan bagan, biasanya dijual ke Depapre. Kebetulan di ibu Kota Distrik ini sudah ada penadah ikan hasil tang-kapan nelayan. Mereka menyebut namanya ibu Purba. Dia memiliki fasilitas pengawet ikan yakni Frizher berukuran besar.” Lanjutnya.

Dari sini baru dia angkut ke pasar Sentani dengan terlebih dahulu diisi dalam kulbox yang dibuat dari gabus. “Nelayan-nelayan yang menggunakan sero apung di Tablanusu ini,”tambah informan tersebut “sudah pandai untuk mengelola keuangan hasil penjualan ikan milik mereka. Hal itu terlihat dari hasil penjualan ikan yang diperoleh dari alat tangkap sero apung yang mereka gunakan untuk membangun rumah tinggal mereka. Kini, sudah ada 6 ( enam ) buah rumah tembok yang dibangun oleh para nelayan hasil dari penjualan ikan milik mereka,” tambah kedua informan tersebut. (Jan Hambur / KdK).

mountains, sunrise, lake-8583450.jpg

SASI, ASET WISATA TELUK TANAH MERAH YANG DIABAIKAN?

JIKA Anda mendatangi salah satu kampung di pesisir teluk Tanah Merah, Depapre dan melihat kayu-kayu berdiameter 3 – 4 cm yang ditancapkan sejajar mulai dari bibir pantai sampai sejauh 100 – 200 meter ke arah laut, itu bukan kayu-kayu bakau yang kalah beradaptasi dengan habitatnya, melainkan kayu-kayu yang sengaja ditanapkan untuk menandakan bahwa areal yang sudah ditandai dengan kayu-kayu tersebut adalah lokasi TIYATIKI.

 

Tiyatiki adalah suatu model pelestarian dan perlindungan biota laut yang ada disuatu area yang terletak di depan bibir pantai dari wilayah laut yang merupakan hak pertuanan laut dari setiap marga yang berhimpun dalam sebuah kampung/desa.

 

Menurut sumber informasi penulis Bapak Jack Suwae dan Bapak Yosef Suwae, yang ditemui di Kampung Tablanusu menjelang akhir tahun lalu menjelaskan, ‘Tiyatiki biasanya diadakan kalau ada satu marga di dalam satu kampung, katakan Kampung Tablanusu mengalami kedukaan, maka untuk mendapatkan ikan dan kerang laut dalam jumlah banyak yang akan dikonsumsikan pada acara peringatan 1 tahun dari keluarga yang meninggal itu, marga yang bersangkutan membuat Tiyatiki pada wilayah laut yang merupakan wilayah adat mereka.’ Jelas kedua sumber tersebut.

 

Lebih jauh keduanya menjelaskan, ‘Untuk itu pimpinan dari marga yang sedang berduka akan berkoordinasi dengan pimpinan-pimpinan marga lainnya dari kampung Tablanusu untuk membuat Tiyatiki juga secara serentak agar biota-biota laut yang terdapat di lokasi yang berdekatan benar-benar terlindungi. Adapun jangka waktu untuk Tiyatiki ini adalah 1 sampai 6 bulan.’

 

Sedangkan kayu-kayu yang akan digunakan sebagai penanda areal Tiyatiki tersebut adalah kayu-kayu bulat berdiameter 3 sampai 4 cm dan harus kuat dan bertahan dalam air selama jangka waktu Tiyatiki berlangsung. Adapun kayu-kayu yang digunakan untuk penanda Tiyatiki adalah kayu bakau dan kayu lainnya yang tumbuh di darat tetapi yang penting kuat. Sedangkan panjangnya harus memperhitungkan tingginya genangan air laut pada saat air pasang dan kayu penanda Tiyatiki harus tetap tampak pada permukaan air pasang setinggi 2 sampai 3 meter di atas permukaan air saat pasang.

 

DIAWALI DENGAN DOA

Penancapan kayu-kayu penanda areal Tiyatiki, dilakukan pada saat air laut surut. Paling tinggi setinggi lutut orang dewasa. Hal itu memungkinkan laki-laki dewasa dapat berjalan masuk ke laut untuk menancapkan kayu-kyu sebagai penanda Tiyatiki. Kayu-kayu penanda Tiyatiki itu, mulai ditancap dari batas darat (di sebelah barat kampung Tablanusu), lalu ditarik lurus ke arah timur kampung. Selanjutnya kayu penanda terakhir menjadi patokan untuk kayu-kayu penanda lainnya yang akan ditarik ke arah bibir pantai yang terletak di depan Kampung Tablanusu.

 

Ketika hari mulai malam (antara jam 18.00 s.d jam 18.30 wit) pemimpin marga yang biasanya dipanggil dengan nama Ondoafi bersama dengan tokoh marga lainnya yang terpandang akan mendatangi lokasi Tiyatiki. Mereka berdiri di pinggir lokasi Tiyatiki lalu Ondoafi akan menutup lokasi sasi dengan mengucapkan sebuah doa dalam bahasa daerah Tepera. Doa tersebut berisikan permohonan kepada Sang Pencipta untuk memberkati biota-biota laut yang ada di dalam areal Tiyatiki agar berkembang biak sehingga kebutuhan marga akan ikan, kerang, udang dan lain-lain dalam acara adat yang akan mereka lakukan terpenuhi.

 

Adapun biota laut yang dibiarkan hidup dan berkembang dalam lokasi Tiyatiki adalah ikan-ikan berukuran kecil dan sedang, kerang-kerang, siput, bia-bia (kerang) dan lobster. Sedangkan ikan-ikan besar berukuran panjang antara 30 cm sd 70 cm, dan beratnya antara 2 kg s.d 5 kg lebih banyak mencari makan di laut dalam perbatasan laut antara wilayah pertuanan laut Tablanusu dengan wilayah laut pertuanan laut Tablasupa dan antara wilayah pertuanan laut Tablanusu dengan wilayah pertuanan laut Kendate. Ikan-ikan tersebut adalah ikan merah, ikan tenggiri, ikan cakalang, ikan bobara yang sangat enak kalau dibakar, dan ikan-ikan lainnya.

 

SANKSI ADAT

Jika ada diantara anggota marga atau anggota marga lainnya melanggar masa waktu Tiyatiki, artinya pelaku mengambil/ menangkap ikan, lobster, dan biota lainnya di dalam lokasi Tiyatiki sebelum Tiyatiki di buka, maka si pelaku harus menerima sanksi adat yang sudah ditetapkan secara turun temurun.

 

Adapun bentuk sanksi adat yang harus dijalankan si pelanggar aturan Tiyatiki adalah ikan hasil tangkapannya dari loksi Tiyatiki diikat dalam bentuk kalung lalu digantungkan di bagian depan dan punggung si pelanggar aturan Tiyatiki. Kemudian yang bersangkutan disuruh berjalan mengeliling kampung dan ditonton oleh warga kampung lainnya.

 

Ketika ditanya penulis, berapa kali si pelanggar aturan Tiyatiki melaksanakan sanksi tersebut? ‘Hanya satu kali putaran saja. Selanjutnya ikan hasil tangkapan yang dia ambil dari lokasi Tiyatiki boleh dibawah pulang ke rumahny untuk dimakan bersama keluarga’ tambahnya.

 

Hukumannya tampaknya ringan, tetapi hukuman moralnya yang lebih berat, karena semua warga kampung akan melihat dan menyaksikan bahwa si pelaku melanggar aturan adat berkenaan dengan Tiyatiki. Hal itu akan diingat terus oleh si penerima hukuman dan warga kampung lainnya yang menyaksikan bagaimana si pelanggar Tiyatiki menjalankan hukumannya.

 

DIBUKA DENGAN DOA DAN TABUHAN TIFA

Ketika waktu untuk Tiyatiki sudah selesai, maka pada saat subuh hari terakir itu (sekitar jam 03.00 wit), Ondoafi yang di dampingi oleh pemimpin-pemimpin marga lainnya di dalam kampung tersebut akan membuka Tiyatiki dengan diawali doa ucapan syukur kepada Tuhan karena telah memberikan perlindungan kepada lokasi sasi dan menahan niat mementingkan kepentingan pribadi dari warga kampung dan anggota marga untuk mengambil biota laut sebelum waktunya untuk dibuka.

 

Setelah doa diucapkan lalu dilanjutkan dengan menabuh Tifa oleh Ondoafi menandakan bahwa Tiyatiki telah dibuka secara resmi. Tabuhan Tifa yang diiringi dengan lagu-lagu adat tersebut dilangsungkan hingga pagi merekah.

 

Warga masyarakat khususnya anggota keret yang sudah hadir di lokasi Tiyatiki-nya, turun ke dalam laut lokasi Tiyatiki dan mulai mengambil dan mengumpulkan ikan, losbter, bia (kerang) dan lain-lainya yang akan digunakan dalam acara keret seperti acara kenduri, dan lain-lain.

 

Cara ini sangat membantu bagi keluarga yang sedang berduka karena dengan demikian mereka tidak akan mengeluarkan uang untuk membeli lauk-pauk khususnya ikan yang disajikan kepada warga kampung pada acara kenduri bagi anggota keluarga mereka yang telah meninggal dunia.

 

ASET WISATA YANG DIABAIKAN?

Tradisi perlidungan biota laut untuk jangka waktu tertentu pada suatu lokasi wilayah laut seperti Tiyatiki di Teluk Tanah Merah Depapre, ternyata juga ada di Ambon. Pada masayarakat Maluku yang berdomisili di Pulau Ambon, Provinsi Maluku, menyebutnya dengan nama SASI. Selain itu pada wilayah lainnya di Indonesia Timur menyebutnya dengan nama Sasisen, Ami, Hawear, dan lain-lain.

 

Tradisi-tradisi Adat tersebut dilakukan dengan tujuan memberikan kesempatan kepada biota-biota laut yang ada di lokasi yang di sasi atau di Tiyatiki, dan lain-lainnya untuk berkembang biak. Sehingga pada gilirannya, masyarakat di sekitar lokasi yang disakralkan tersebut akan mendapatkan dan memanen biota laut yang melimpah. Tradisi Adat seperti ini, menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan asing, domestik maupun lokal.

 

Tapi sayang, aset wisata seperti ini tampaknya justru mulai diabaikan oleh masyarakatnya? Mr. Menase Soumilena yang bertandang ke Redaksi KdK akhir September 2023 lalu menjelaskan, ‘di Kampung Tablanusu, distrik Depapre, kabupaten Jayapura, terakhir dibuat ketika saya masih kecil. Sejak saat itu sampai sekarang (2023) belum dibuat lagi,’ tutur mantan Kepala Kampung Tablanusu yang kini berusia 50 tahun-an lebih itu. (Jan Hambur/KdK )

Scroll to Top